Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs GUBUK
Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini
Submitted by admin on 24 March, 2009 - 09:39
Kategori: Resensi Buku Cetak, Iman dan Karakter
border='0' style='margin-right: 15'> |
|
Apa definisi “problem” atau “masalah”? Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa edisi ke-4 mendefinisikan “masalah” sebagai “sesuatu yang harus diselesaikan/dipecahkan.” Webster’s Third New International Unabridged Dictionary mendefinisikan “problem” sebagai “an unsettled matter demanding solution or decision and requiring usually considerable thought or skill for its proper solution or decision.” Namun paling mudah jika kita memahami problem sebagai kesenjangan antara apa yang de jure (yang seharusnya) dan apa yang de facto (yang menjadi faktanya). Lalu apa hubungannya dengan buku ini?
“Gereja mengakui bahwa Yesus dari Nazaret adalah Mesias. Ia adalah Allah yang berinkarnasi. Ia adalah Juru Selamat. Ia adalah Tuhan atas Gereja dan atas dunia. Ia adalah pusat, bukan hanya dari iman Kristen, tetapi juga, Alkitab menegaskan, dari alam semesta itu sendiri, dan melalui Dialah segala sesuatu dijadikan. Tanpa Yesus yang merupakan figur sentralnya, sumbernya, dasar, otoritas, dan tujuannya, kekristenan tidak memiliki makna apa pun. Di sinilah masalahnya: gereja-gereja Kristen di sepanjang spektrum theologis dan pengakuan iman, dan etika Kristen sebagai suatu disiplin akademis yang melayani gereja-gereja, sering bersalah karena mengesampingkan Tuhan Yesus, Sang Batu Penjuru dan pusat iman Kristen. Secara spesifik, ajaran dan praktik hidup Yesus – khususnya bagian terbesar dari ajaran-ajaran-Nya, khotbah di bukit - terus diabaikan dan disalahtafsirkan dalam pelayanan khotbah dan pengajaran gereja-gereja, dan dalam bidang etika akademis.”
Inilah problem yang menjadi keprihatinan kedua penulis. Secara de jure, kita mengakui Kristus sebagai Tuhan dan ajaran-Nya sebagai hukum kita. Secara de facto, kita mengesampingkan Dia dalam sebagian besar cara kita menjalankan kehidupan riil. Ini memunculkan kondisi praktik moral dan kepercayaan moral yang salah dan krisis identitas Kristen di zaman ini. Maka dalam buku mereka, kedua penulis melakukan pendekatan yang sangat berbeda pada etika Kristen. Yaitu dengan mengimani bahwa Kristus mengajarkan ajaran-Nya bukan sebagai ideal Kerajaan Allah yang akan datang, melainkan untuk dipraktikkan dalam Kerajaan Allah yang telah dimulai Kristus dalam jemaat-Nya saat ini, etika kerajaan dimulai dengan pembahasan dasar etika Kristen yang tepat bagi para warga Kerajaan Allah, yaitu Khotbah di Bukit.
Tanpa bermaksud menjadikan buku ini sebagai tafsiran bagi khotbah di bukit, penulis memberikan uraian yang sistematis atas bagian ini dan bagian-bagian terkait dari PL dalam bagian 1 dan 2 (bab 1-6), sebelum masuk ke dalam isu-isu etis pada bagian 3-7 (bab 7-24). Setiap isu dikaitkan dengan bagian tertentu dari khotbah di bukit. Di sinilah keunikan pendekatan etika kerajaan, yaitu melihat kekuatan ajaran Kristus sebagai inisiatif yang bisa menghancurkan lingkaran setan dalam masalah-masalah etis yang selama ini tidak mungkin diselesaikan dengan pendekatan filosofis humanis. Mengingat kompleksitas dari setiap isu yang dibahas, buku ini, sesuai pengakuan para penulis, memang belum menyelesaikan problem yang ada secara tuntas, tetapi jelas telah merintis satu arah baru beretika dan berkehidupan Kristen yang memberikan harapan pemecahan yang lebih solid, dan yang paling baik lagi, berpusat pada Alkitab dan Tuhan Yesus Kristus.
Glen Harold Stassen adalah Lewis B. Smedes Professor of Christian Ethics di Fuller Theological Seminary, Pasadena, California. David P. Gushee adalah Graves Professor of Moral Philosophy di Union University, Jackson, Tennessee.
Peresensi: Irwan Tjulianto (Staf Penerbit Momentum)
- Login to post comments
- 5432 reads