Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs GUBUK
Sekalipun Krisis, Penerbit Kristen Menuai Berkat
Submitted by admin on 3 March, 2008 - 15:12
Kategori: Artikel
Gelombang krisis tidak selamanya memorak-porandakan dunia penerbitan. Meskipun puluhan bahkan ratusan penerbit anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) gulung tikar lantaran tidak mampu bertahan akibat biaya produksi, terutama bahan baku kertas dan ongkos cetak melonjak tajam, nyatanya ada sebagian penerbit yang justru mendapat berkah.
Mereka yang menikmati berkah dari krisis tersebut adalah para penerbit buku rohani, khususnya penerbit-penerbit buku Kristen. "Ini memang momen menarik, pada saat krisis, anehnya (penjualan) kami malah meningkat. Terutama di penjualan buku-buku seri Kesaksian yang memberi kekuatan," kata Vladimir I. Pangemanan, Kepala Divisi Perdagangan BPK Gunung Mulia, salah satu penerbit dan jaringan toko buku Kristen terkemuka di negeri ini.
Melonjaknya permintaan buku-buku saat dan setelah krisis moneter tahun 1997 juga dialami oleh penerbit buku Kristen lain, termasuk Penerbit Immanuel. "Awalnya kami sempat tiga bulan "slow down" atau ngerem karena harga kertas ongkos cetakan besar sekali, tapi saya lihat, ngapain saya mesti "slow down", ini justru kesempatan. Ternyata benar, sejak krisis, minat baca orang meningkat luar biasa," ungkap Hilda Daniel, Direktur Penerbitan Penerbit dan Toko Buku Immanuel. Hilda memaparkan peningkatan luar biasa dalam penerbitan yang didukung semakin tingginya minat membaca buku-buku rohani. Dalam setahun, penerbitan yang dikelolanya menghasilkan sekitar tiga puluh judul buku. Sebagian besar adalah buku terjemahan. Sekalipun produksi buku per tahun masih tergolong rendah, buku-buku tersebut terus-menerus mengalami cetak ulang.
Pesatnya perkembangan penerbitan buku-buku agama ini tidak hanya dinikmati oleh penerbit Kristen Protestan saja, tetapi juga dirasakan penerbit buku Katolik. Penerbit dan Percetakan Kanisius merupakan salah satunya. Usia penerbitan yang berlokasi di Yogyakarta itu sudah tergolong tua, lebih dari tujuh puluh tahun. Diakui pula, sepanjang masa, dari tahun ke tahun penerbit ini terus mengalami kemajuan. "Secara umum, trennya naik. Kenaikannya rata-rata lima belas persen per tahun," kata J.B. Priyanahadi, Direktur Redaksi Penerbit-Percetakan Kanisius. Kini, Kanisius setiap tahun mencetak buku baru sekitar 200.000 eksemplar. Jumlah ini belum termasuk produksi buku-buku lama yang mengalami cetak ulang dengan jumlah yang hampir sama, yakni sekitar 200.000 buku.
Dalam perjalanannya, kendati misi utamanya sebagai lembaga pelayanan, toh para penerbit tersebut mau tidak mau tetap harus mencari keuntungan. Alasannya, agar tetap bisa bertahan dan berkembang. "Memang, sampai sekarang kami masih nonprofit. Artinya, orientasinya lebih kepada "value" atau nilai daripada uang. Namun secara realistis, kami juga harus mendamaikan keduanya. Bagaimana kami memberikan sesuatu yang bernilai kepada masyarakat kalau itu gratisan. Kami, duitnya mau dari mana? Dan orang itu akan membayar sesuatu kalau itu memang bernilai bagi mereka. Sebetulnya, itu sesuatu yang manusiawi," kata FX Supri Harsono, Wakil Direktur Utama Penerbit-Percetakan Kanisius.
Pemaparan senada juga terjadi pada penerbit-penerbit lain, seperti Immanuel maupun BPK Gunung Mulia. "Kalau kami tidak ambil untung, bagaimana kami mesti bayar karyawan? Dulu awalnya cuma bertiga, jadi bisa benar-benar nonprofit, tapi lama-lama karyawan bertambah sampai lebih dari dua ratus orang, bagaimana kami menggaji mereka, oleh karena itu, kami mesti ambil untung meski tidak besar," tutur Hilda Daniel. Dalam praktik, Penerbit Immanuel mematok harga jual bukunya paling tinggi tiga kali biaya produksi. Sebagai gambaran, para penerbit buku umumnya menentukan harga jual buku berkisar 3-4 kali biaya produksi. "Kadang-kadang bahkan cuma dua kali atau dua setengah kali biaya produksi. Kami selalu ingat bagaimana orang desa bisa beli," ujar Hilda menambahkan.
Sebagai sebuah lembaga yang mengemban misi pelayanan, tetapi juga sekaligus harus bisa hidup mandiri, tarik-menarik antara keperluan misi dan bisnis pada penerbit-penerbit buku demikian selalu terjadi. "Tarik-tarikan antara misi dan bisnis itu selalu ada. Kadang-kadang mau tidak mau kami ada yang namanya subsidi penerbitan. Ada satu buku yang harus diterbitkan, karena kalau bukan kami, belum tentu ada penerbit lain yang mau menerbitkan. Akan tetapi, karena kami pikir baik untuk menunjang misi kami, jadi harus diterbitkan. Untuk itu, mau tidak mau harus rela tidak untung," ungkap Vladimir Pangemanan.
Ada beragam langkah yang dilakukan guna menyiasati misi dan desakan bisnis. Salah satu yang dilakukan agar tetap mandiri adalah dengan menerbitkan buku-buku umum di luar buku rohani. Penerbit Kanisius misalnya, buku-buku eksplisit Katolik yang diterbitkan hanya sekitar empat puluh persen dari seluruh produk. Sisanya, enam puluh persen, adalah buku-buku umum. "Tanggung jawab kami yang utama dan pertama adalah ke gereja. Tapi gereja bukan yang eksplisit, melainkan gereja misioner. Gereja yang ikut bertanggung jawab atas kehidupan dan kualitas masyarakat. Nah, masyarakat itu ada sesama Kristen, ada sesama umat beragama, atau sesama umat manusia. Oleh karena itu, kami juga menerbitkan buku-buku humaniora, buku pelajaran, maupun buku pemberdayaan masyarakat, seperti pertanian, peternakan, bahkan buku busana dan anak-anak juga kami terbitkan," kata Supri Harsono.
Bagi Penerbit Kanisius, penerbitan buku-buku nonrohani ini cukup bisa diandalkan. "Dari dulu Kanisius kuat di buku-buku pemberdayaan masyarakat, seperti pertanian, peternakan, perikanan. Buku-buku pegangan praktis dan pengenalan pengolahan hasil panen," ujar Priyanahadi. Menariknya, Kanisius juga menerbitkan buku-buku busana, termasuk busana muslim. Hasil penjualannya pun menggembirakan. "Seri busana muslim ini tergolong "best seller". Satu judul bisa terserap lebih dari 40.000 eksemplar. Masyarakat itu selalu berpikir tentang kualitas. Jadi, kalau buku itu kualitasnya baik, tentu akan dibeli," kata Priyanahadi menambahkan.
Seperti halnya Kanisius, BPK Gunung Mulia juga menerbitkan buku-buku umum, hanya saja proporsi tidak lebih, antara sepuluh dan dua puluh persen dari total buku yang diterbitkan. Setengah dari buku-buku umum tersebut merupakan buku-buku pelajaran agama Kristen untuk sekolah-sekolah, dari SD hingga SMU, buku-buku yang dipakai oleh sekolah tinggi, teologi dan buku kuliah ekonomi, psikologi, dan bahasa Inggris. Selain itu, penerbit ini juga menerbitkan novel maupun buku-buku keterampilan.
Supardan, Sekretaris Umum LAI, mengisahkan, di era tahun 1950-an, tatkala LAI belum memiliki percetakan sendiri, Alkitab dicetak di luar negeri. Saat itu angka sirkulasi sudah mencapai 70.000-an setiap tahun. Era 1970-an, ketika mereka sudah menggunakan mesin cetak sendiri, sirkulasi mencapai 100.000-an eksemplar setiap tahunnya. Selanjutnya, sepanjang tahun terus meningkat hingga tahun 1980-an mencapai 250.000 per tahun. Saat itu kapasitas cetak tidak lagi memadai. Namun, berkat jasa para donatur, persoalan mesin cetak terjawab. Pada tahun 1996, LAI mencetak hingga 600.000 eksemplar per tahun. Bahkan, pada saat krisis ekonomi melanda, permintaan juga meningkat hingga mampu mencetak 1,3 juta eksemplar per tahun.
Belakangan, penurunan terjadi. Persoalan yang dihadapi LAI sekarang adalah jumlah produksi Alkitab per tahun di bawah kapasitas produksi yang ada. Hal ini menyebabkan inefisiensi, bahkan ke depan bisa mengakibatkan kerugian yang besar.
"Ini menjadi problem kami saat ini. Kalau boleh (mencetak buku-buku lain), persoalan mesin cetak yang "under capacity" akan terselesaikan," kata Supardan. Mengantisipasi persoalan ini, tahun 2004, LAI mulai melirik pasar luar negeri. Beberapa perundingan kini tengah dilakukan. Inilah harga sebuah misi.
Diambil dan diedit seperlunya dari:
Nama situs | : Kompas Cyber Media |
Penulis | : WEN/NCA/UMI |
Alamat URL | : http://www.kompas.com/ |
- Login to post comments
- 4250 reads