Sedikit Bakat Sisanya Keringat | GUBUK


Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs GUBUK

Sedikit Bakat Sisanya Keringat


Kategori: Artikel

Penulis: A. Bimo Wijoseno

Adakah syarat khusus untuk menjadi penulis buku? Bisa baca-tulis itu sudah pasti. Syarat berikutnya, harus punya bakat. Banyak orang bilang, kalau tidak punya bakat, sampai kepala botak dan beruban pun, tak akan lahir yang namanya buku. Betulkah begitu?

Imelda Akmal (35), penulis buku tentang desain interior yang laris manis di pasaran, seperti buku seri Menata Rumah Mungil terbitan Gramedia Pustaka Utama, mencoba berbagi pengalaman.

"Semuanya berangkat dari kebutuhan," ujar Imelda membuka percakapan. Pada saat pembuatan buku pertama saya, di awal 1990-an, saat itu real estate sedang booming. Ketika itu ada pergeseran dimensi rumah. Ukuran rumah yang tadinya luas dan besar, menjadi lebih kecil. Jika rumah paling kecil tadinya tipe 70, kala itu menjadi tipe 21.

Perubahan ukuran rumah itu tentu menimbulkan masalah. "Saya kerap mengunjungi rumah teman yang pintunya tidak bisa dibuka lebar atau tak bisa tertutup rapat, karena kepentok furnitur yang kegedean," jelasnya. Itu karena dimensi rumah berubah, tetapi ukuran furniturnya standar, tidak berubah sama sekali. Rumah pun jadi sumpek. Dari situ saya tergugah mencari solusi mengatur ruang dan isi rumah mungil. Supaya tidak mentok sana-sini," kata Imelda.

Keprihatinan akan rumah yang sesak karena perabotannya tidak cocok sebenarnya dipikirkan juga oleh pengembang real estate. Mereka membuat rumah contoh yang dianggap nyaman dan layak huni. Ukuran perabot dan penataannya pun disesuaikan dengan kondisi ruang rumah mungil. Imelda lantas menggalinya lebih dalam dan mengembangkannya, sehingga muncul buku Menata Rumah Mungil.

Tanggapan masyarakat sangat antusias. Buah karya Imelda itu sampai sekarang sudah dicetak ulang 12 kali!

Keliling Real Estate

Cerita Imelda seputar proses pembuatan bukunya cukup unik. Dia bilang, tantangan dalam membuat buku interior adalah mencari objek untuk difoto. Untuk itu, ia bekerja sama dengan suaminya yang kebetulan fotografer, Sonny Sondjaya (37). Mereka berdua berburu gambar dari rumah ke rumah. Masa hunting ini memakan waktu 2 - 3 bulan.

Tak jarang untuk bisa memotret diperlukan izin si empunya rumah. Masalah muncul di tahap ini, karena biasanya ia tidak kenal si penghuni rumah.

Sampai akhirnya, muncul ide bagus. "Saya kirimi surat saja rumah itu. Isinya minta izin agar rumahnya boleh dipotret," ungkapnya sambil tersenyum. Ada yang berhasil, penghuninya bersedia rumahnya di potret. Bahkan menerimanya dengan tangan terbuka. Namun, ada juga penghuni yang menolak dengan berbagai alasan.

Biasanya, yang menolak itu pemilik rumah mewah. Toh kendala-kendala itu tidak membuat Imelda gentar. Ia terus berburu: gambar, sehingga akhirnya cukup untuk sebuah buku, yang memerlukan minimal 50 gambar.

Imelda mengaku, kandungan tulisan yang ada di dalam buku-bukunya hanya sekitar 30%. Ia mencoba memakai bahasa yang mudah dipahami dan tidak terlalu teknis. Yang 70% berupa visualisasi gambar, style, serta tata letak ruangan yang sedang dibahas. "Model penulisan seperti itu saya gunakan supaya masyarakat yang awam arsitektur dengan mudah mengerti konsep yang ditawarkan."

"Mereka juga bisa melihat visualnya secara langsung," tambah Imelda. Kini, perempuan ulet itu sudah menghasilkan 12 judul buku yang temanya berkenaan dengan seri menata rumah mungil. Dari ruang tidur, taman, hingga dapur.

Seakan belum puas, Imelda masih ingin membuat buku yang bisa dipakai oleh segala lapisan. "Dengan menulis buku, saya ingin menjembatani arsitek dan masyarakat. Sering kali konsep yang dipikirkan arsitek sulit diterjemahkan, baik secara lisan atau tulisan. Masyarakat jadi sulit menangkapnya," tuturnya mantap.

Sejauh ini, kata Imelda, buku-buku yang dia buat ditujukan bagi kalangan umum, yakni masyarakat kalangan menengah. Suatu saat nanti, ia ingin menggarap buku arsitektur yang bisa dijadikan acuan para profesional di bidang arsitektur. Tak hanya mengangkat buku yang mengandung kiat praktis, seperti yang ia geluti saat ini.

Dalam waktu dekat Imelda akan menerbitkan karyanya ke-13, Indonesian Architecture Now, yang akan diterbitkan di dalam dan luar negeri untuk konsumsi profesional. "Walaupun belakangan mulai menulis arsitektur secara teknis profesional, apa yang saya geluti kini tetap saya pertahankan. Ini 'kan yang menghidupi semuanya," ungkap penulis yang telah meluangkan waktu khusus untuk menulis selama sembilan tahun.

Secara tersirat, Imelda membuktikan, bakat saja - tanpa kemauan - tak akan berarti apa-apa. Jika hanya memandangi karyanya, tak akan terbayang perjuangannya mencari bahan tulisan yang ternyata lumayan ribet. Di rumahnya, di daerah Rempoa, Tangerang, Imelda terus menulis dan menulis. Jam kerjanya tak beda dengan orang kantoran, dari pagi sampai petang.

Maju Meski Ditentang

Jika Imelda menyebut peran bakat, Andrei Aksana, novelis muda yang bukunya tak kalah laris, lebih gamblang menyimpulkan. "Buat saya, bakat hanya 1%. Sisanya keringat dan kerja keras," ujar lelaki kelahiran Jakarta, 19 Januari 1977 ini. Andrei juga dikenal sebagai penggagas novel-soundtrack-videoclip (setiap bukunya diselipkan CD lagu ciptaannya sendiri dan dinyanyikannya sendiri).

Sebagai novelis, Andrei piawai mengaduk-aduk emosi pembacanya. Buku Abadilah Cinta terbitan Gramedia Pustaka Utama, langsung dicetak ulang dalam lima hari saja. Abadilah Cinta menjadi bukti kemampuan Andrei, yang sejak SD sudah gemar menulis, membuat puisi, dan menulis cerpen. Karya-karyanya sempat dimuat di sejumlah majalah.

Ironisnya, bukan bangga membaca karya anaknya masuk media cetak, orangtua Andrei malah marah-marah. "Ibu tidak mau saya menjalani kehidupan seniman yang eksentrik. Lebih banyak hidup di dunia imajinasi, tidak realistis," katanya menyitir pendapat ibunya, Nina Pane yang juga novelis. Selain itu, "Keluarga kami sudah turun-temurun menjadi penulis," sambungnya.

Kakek Andrei, Sanoesi Pane dan Armijn Pane, bisa disebut dua di antara sekian banyak ikon dalam kesusasteraan Indonesia. Sedangkan buyutnya, Sultan Pangurabaan Pane, adalah penulis roman Tapanuli. Singkat kata, "Ibu lebih suka saya menjadi sarjana dan kerja kantoran," tuturnya menerawang.

Namun makin ditentang, Andrei kian bandel. Ia tetap menulis secara sembunyi-sembunyi. Saat duduk di bangku SMP hingga SMU, kegiatan menulis ia lakukan bergerilya di malam hari sebelum tidur dengan hanya diterangi lampu kecil, karena lampu kamar harus dimatikan. Kalau ketahuan lampu kamar masih terang menyala, ibunya akan curiga.

Tidak jarang sang "gerilyawan" ketahuan. Nina Pane pun menggeledah laci meja belajar Andrei. Kemudian menyobek-nyobek tulisan Andrei dan membuangnya ke tempat sampah. Namun, si anak bandel itu tidak kapok. Semasa SMU, karyanya bahkan ada yang lolos dan muncul di Majalah Mode dan Gadis.

Mengapa idenya tetap lancar mengalir, meski harus dengan bergerilya?

"Saya sih tidak ada kesulitan menulis, karena memang hobi," tandasnya. Saat kuliah di Fakultas Desain Grafis, Universitas Udayana, Bali, Andrei menerbitkan buku pertamanya berjudul Mengukir Mimpi Terlalu Pagi setebal 400 halaman. Khawatir aktivitas menulis bakal mengganggu kuliah anaknya, ibunya lagi-lagi protes. Ibunya bahkan sampai mengancam segala.

"Ibuku bilang, seniman tidak punya masa depan, tidak punya gaji tetap. Mau kamu hidup miskin?" ujar Andrei menirukan ucapan ibunya. Ajaibnya, ancaman itu ternyata ampuh, karena Andrei tak berani hidup miskin. Anak muda ini pun memutuskan meneruskan kuliah, dan berjanji untuk merampungkan kuliahnya hingga menjadi sarjana.

Tetap ada Riset

Menulis novel, buat Andrei, tak selalu berawal dari imajinasi. Ia juga melakukan riset kecil-kecilan. Dalam Abadilah Cinta misalnya, ia melakukan riset ke penjara. Di sana Andrei memperhatikan sepasang suami-istri, melihat bagaimana cinta diuji, serta bagaimana si istri tetap setia menunggu sang suami keluar dari penjara. Sampai akhirnya, melupakan masa lalu suaminya yang kelam.

Dari situ, Andrei mengembangkan imajinasinya. Ia membuat tokoh yang masuk penjara karena merampok demi membiayai persalinan istrinya. Andrei lalu mencoba berfalsafah, apakah perbuatan seperti itu bisa disebut sebagai tindak kejahatan? Bukankah si suami melakukannya atas nama cinta? Lalu, jika istrinya tahu kalau suaminya dipenjara demi dia dan bayi mereka, apakah istrinya akan tetap setia?

Sampai sekarang, sudah enam novel Andrei yang diterbitkan, seperti Mengukir Mimpi Terlalu Pagi, Abadilah Cinta, Cinta Penuh Air Mata, Sebagai Pengganti Dirimu, Lelaki Terindah, Cinta 24 Jam, dan Karena Aku Mencintaimu yang akan segera terbit. Andrei kini memang bisa bebas menulis, karena ia telah menjadi sarjana dan bekerja sebagai direktur pemasaran sebuah perusahaan swasta.

Selain menulis Andrei juga piawai bernyanyi dan bermain musik. Tadinya Andrei ingin meluncurkan album sendiri. Namun, karena penyanyi pria sudah banyak, perlu dibuat sesuatu yang berbeda. Ia, misalnya, membuat image baru, penulis yang bisa bernyanyi atau penyanyi yang bisa menulis. Maka terbitlah novel bersoundtrack. Sambil membaca novel, pembaca mendengarkan musik.

Omong-omong, ada pesan buat mereka yang hendak mulai menulis? "Menulislah dengan hati, sampaikan apa yang kita rasakan, sehingga pembaca juga bisa menyelami. Kemudian ada rasa tanggung jawab begitu selesai menulis halaman terakhir, misalnya memikirkan bagaimana agar karya itu bisa laku. Itu sebabnya saya terlibat langsung dalam perencanaan desain cover, lay out, sampai promosi," cetus Andrei.

Jurus Mengambil Hati Penerbit

Tips Andrei Aksana

Datanglah ke penerbit dengan konsep yang jelas.
Tentukan ke mana arah tulisan yang hendak atau sedang dibuat. Sastra? Pop? Thriller? Atau yang lain?
Sampaikan rencana setahun ke depan, berapa buku kira-kira yang akan dirampungkan?
Image seperti apa yang hendak dibangun?
Kalau bisa, ikut terlibat dalam memikirkan program promosi.

Tips Imelda Akmal
Pilih tema tulisan berdasarkan apa yang dibutuhkan orang.
Berikan referensi tentang buku yang telah, sedang, atau akan dibuat, agar dapat dijadikan acuan penerbit.
Buatlah proposal yang jelas.
Punya keyakinan kuat, sehingga dapat meyakinkan penerbit bahwa buku yang akan kita tulis benar-benar dibutuhkan orang.

Sumber : INTISARI - Mei 2005

Komentar