Sampah Menjadi Persembahan | GUBUK


Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs GUBUK

Sampah Menjadi Persembahan


Kategori: Resensi Buku Cetak, Kesaksian

Judul asli : --
Penulis : Ria Zebua
Penerjemah : --
Penerbit : Yayasan Komunikasih dan Bina Kasih [YKBK/OMF]
Ukuran buku : --
Tebal : --
Sumber : Bahan non publikasi

Mengapa harus pergi jauh-jauh untuk memberitakan keselamatan? Bukankah di Indonesia banyak orang yang belum mengenal Tuhan? Sekilas pertanyaan ini masuk akal, namun kebanyakan dari penanya sesungguhnya tidak aktif memberitakan kabar keselamatan. Jadi, bukan karena peduli akan keadaan Indonesia, tak lebih dari sekadar mengungkapkan rasa heran mengapa susah-susah keluar negeri untuk melakukan sesuatu yang dapat dilakukan di Indonesia.

Untuk apa saya hidup? "Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu." (Amsal 3:9) Hidup adalah harta yang tak dapat ditukar dengan apa pun. Bekerja diladang Tuhan, untuk itulah saya hidup! Ini adalah dasar panggilan Ria Zebua, wanita kelahiran pulau Nias yang sejak kecil merasakan panggilan Allah sebagai pemberita injil (misionaris). Seusai tamat dari Fakultas Teologi UKDW Yogyakarta, Ria (warga gereja BKNP) diutus oleh OMF (badan misi yang melayani di banyak negara), melayani orang Manobo di Desa Tanguangu di pulau Mindanao Filipina.

Orang Manobo berbahasa Cebuano dan beragama sekte penyembah roh. Jumlah penduduk desa sekitar 400 jiwa. Sebelumnya telah pernah ada misionaris yang merintis pelayanan namun berhenti (ada 2 jiwa yang telah mengenal Tuhan). Mata pencarian warga adalah menanam ubi, jagung, pisang, menangkap ikan disungai dan beternak. Sarana transportasi belum ada hanya berjalan kaki. Malam gelap gulita. Hanya orang tertentu yang bisa membeli minyak tanah. Belum ada pendidikan, lingkungan kotor dan bau. Kotoran hewan dan kotoran manusia hampir dimana-mana ada. Pemandangan yang terlihat hanya penderitaan manusia; orang-orang tak berpakaian dan tangisan anak-anak sepanjang hari karena kelaparan, kandang hewan dan rumah orang sulit dibedakan, perempuan-perempuan bertengkar, perjudian yang sering berakhir dengan perkelahian, dan berita pencurian melengkapi keburukan desa itu. Ketika melapor kepada camat setempat diawal pelayanan, ia berkata, "Saya senang kalian bekerja di Tanguangu. Saya sudah kehabisan akal menolong mereka. Mereka keras kepala dan malas; mereka suka mencuri, mereka hanya tahu minum-minum, mabuk-mabukan, dan berkelahi, berjudi dan bikin masalah."

Setelah berjalan keliling mengamati daerah dan masyarakat tersebut, Ria berlutut di hadapan Tuhan, memohon, "Ya Tuhan, saya tidak bisa mengasihi orang-orang ini. Berikan saya hati yang meluap dengan kasih-Mu. Ajar saya untuk mengasihi orang Tanguangu!

Pendekatan pertama yang dilakukan adalah memandikan sejumlah anak-anak di sungai yang selama ini tidak pernah mandi dengan benar (asal celup) sehingga tubuhnya tetap kotor dan bau. Pada saat tersebut timbul kesadaran, sesungguhnya di hadapan Tuhan semua manusia adalah kotor dan bau. Karena kematian Yesuslah kita beroleh anugerah, termasuk bagi anak-anak tersebut. Kebahagiaan terpancar di wajah mereka saat dimandikan. Mereka juga diajari mencuci pakaian. Setelah itu timbul rasa kasih kepada mereka dan mereka juga antusias dan silih berganti datang ke rumah penginjil sampai larut malam.

Ria melayani bersama 4 orang Filipina yang pernah belajar tentang misi. Diaturlah pembagian tugas siapa-siapa yang melayani kaum bapa, wanita, remaja, dan sekolah minggu. Mereka mengumpulkan orang-orang dan mengajarkan firman Tuhan. Tim kerja mengunjungi rumah-rumah warga untuk berdiskusi tentang firman Tuhan dan berbagai aspek kehidupan. Rumah mereka juga terbuka lebar menerima kedatangan warga untuk bertanya, minta didoakan dan menyampaikan keluhan. Tim kerja melibatkan warga ambil bagian mempersiapkan dan dalam proses ibadah.

Dengan tidak lelah, semangat yang berkobar-kobar, mereka mencari jiwa terus menerus. Dari rumah ke rumah, dari satu tempat ke tempat lain, berjalan kaki melewati jalan setapak, di tengah hutan, menyeberangi sungai, bahkan tidak jarang harus melewati sungai yang sedang banjir atau lembah gunung yang curam. Kadangkala harus merasakan hujan deras sehingga semua pakaian basah kuyup karena tidak ada alat pelindung (kecuali daun pohon pisang), sampai akhirnya pakaian yang dipakai pun kering di tubuh.

Benih firman Tuhan telah bertumbuh, Iman warga telah berbuah. Pada suatu hari seorang wanita (Rosita) keguguran dan mengalami pendarahan hebat, di samping itu ia menderita batuk yang serius dan paru-parunya berisi air. Ia terpaksa harus dibawa ke rumah sakit, namun tidak ada dana. Selesai kebaktian jemaat diminta membantu Rosita. Warga jemaat berdoa, Tuhan menggerakkan hati orang-orang untuk menyumbang, terkumpullah seekor ayam, dua karung ubi, pisang, dan talas, serta uang 120 peso (Rp. 20.000). Akhirnya Rositapun bisa berobat. Dalam membangun gereja, juga berasal dari persembahan hasil tanaman/ternak yang dijual ke pasar.

Dalam proses pelayanan, tantangan demi tantangan bermunculan. Cemoohan dan penolakan dari orang-orang tertentu, kondisi alam, cuaca, lokasi yang terpencil (transportasi), tidak adanya sarana kesehatan, dan lain sebagainya. Semuanya dihadapi dengan penyerahan total kepada Tuhan. Doa yang terus menerus, sehati sepikir, semangat yang berkobar-kobar, adalah modal dasar dalam melayani.

Sekalipun orang Manobo miskin secara ekonomis, namun dari hasil pemuridan mereka setia memberi persembahan kepada Tuhan. 30 % dari persembahan digunakan untuk misi. Pewartaan yang intensif membuat jumlah orang yang percaya kepada Yesus semakin hari semakin bertambah. Tanpa sadar telah tercipta teman sekerja (kader-kader baru) yang bisa dipakai untuk melayani sesama warga. Mereka senang karena diajak (dipilih) menjadi pekerja Kristus. Mereka membuat tujuan (target) bahwa dalam tempo 2 tahun, 400 jiwa penduduk harus dibawa kepada Yesus. Jumlah yang cukup banyak untuk kemuliaan Tuhan. Selain itu, dengan semangat yang berkobar-kobar mereka juga memberitakan injil ke desa-desa lain. Dengan bantuan lembaga misi, juga ada anak desa yang disekolahkan ke luar kota.

Tuhan telah mengubah Tanguangu, desa yang tadinya merupakan tempat segala keburukan. Tuhan telah menjadikan Tanguangu sebagai persembahan yang harum bagi-Nya yang menebarkan kemuliaan nama-Nya. Gereja dibangun Allah menjadi pancaran mata air segar yang membawa keselamatan dari Tuhan Yesus kepada orang-orang di sekitar mereka.

Tulisan ini adalah ringkasan kisah nyata seorang penginjil dari Indonesia yang diutus TUHAN melayani masyarakat pedalaman di Filipina.

Peresensi: Daniel Simanjuntak

Komentar