Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs GUBUK
Guru Berguru Buku
Submitted by admin on 3 May, 2010 - 12:11
Kategori: Artikel, Umum
Ada siswa bertanya, "Pak, duluan mana antara telur dengan ayam?" Pertanyaan itu sebetulnya klasik. Namun, karena siswa itu mungkin baru membaca buku humor, ia mengira pertanyaan tebak-menebak itu sebagai sesuatu yang baru.
Pertanyaan siklus itu mengingatkan saya pada asal muasal profesi guru. "Duluan mana antara guru dengan buku?" Memang naif, mengaitkan guru sebagai makhluk hidup dengan buku -- benda mati. Tetapi, sulit disangkal bahwa belum semua yang disebut guru itu akrab dengan buku. Padahal, seorang mahasiswa calon guru baru bisa disebut guru jika ia benar-benar mengakrabi buku.
Oleh karena itu, tidak salah sebuah ungkapan mengatakan bahwa buku adalah pengajar yang tidak kenal jemu. Tafsir ini muncul dari kenyataan di lapangan. Sebut saja "affair" [hubungan, Red.] Soedjatmoko (alm.) dengan buku. Toko buku bekas di Pasar Klewer, Solo, merupakan saksi bisu "affair" sang begawan yang tersohor sebagai guru bangsa tersebut. Di tempat itulah "mata baca" Soedjatmoko membelalak. Kelak ia menjadi Rektor Universitas PBB, setelah sebelumnya menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Sekali lagi, buku pulalah yang mengantarkan dia.
Jika Soedjatmoko sukses tanpa pernah lulus sebagai sarjana, lain halnya dengan Poerbocaroko. Meskipun ahli sejarah Jawa kuno itu bergelar profesor, doktor, tetapi konon beliau tidak menempuh sekolah dasar. Siapa atau apa lagi yang mengajari beliau jika bukan buku!
Bila kita mengerucutkan perhatian pada guru-guru kelas di sekolah, mereka juga tidak bisa dilepaskan dari buku -- kecuali bila sang guru ingin melepaskan kompetensi profesionalnya. Bila disadari bahwa buku dapat menajamkan kompetensi, buku itu pasti akan dipeluknya erat-erat. Apalagi bila mengingat rendahnya umur ekonomis guru, buku mungkin dapat dijadikan sumber rezeki alternatif. Torey Hayden, yang memulai novelnya dari pengalaman mengajar di kelas, telah mampu diantar [oleh buku] menjadi penutur kelas dunia. Novelnya mengisi etalase toko-toko buku bersanding dengan novel-novel terlaris lainnya. Dari situ pundi-pundi Hayden semakin bertambah tebal, sekaligus menajamkan kompetensinya. Begitu juga kisah penulis dongeng J.K. Rowling yang Harry Potter-nya meledak di pasaran juga terpisahkan dari buku. Penulis cerita silat Tiongkok juga belum merasa seru jika tidak melengkapi skenarionya dengan perguruan silat yang berebut kitab pusaka. Konon, para dukun yang menggeluti dunia "jopa-japu" [mantra, Red.] juga akan kesulitan tanpa media buku; sebodoh apa pun dukun yang bermeditasi di puncak gunung, ia takkan lupa menggoreskan bisikan sang jin di kertas, kain, atau kulit bertuah sebelum kelak para muridnya membukukan tuah itu dalam sebuah buku/kitab. Meskipun di Indonesia tidak banyak guru yang menjadi penulis hebat, namun saya mengajukan nama Romo Mangun dan Romo Drost. Meskipun keduanya sudah almarhum, melalui tulisan-tulisan mereka, kedua maestro tersebut tidak jemu berkata-kata. Jadi, tampuk sukses guru terlalu sepi bila tidak diantarkan buku. Bahkan mungkin tidak akan pernah ada guru jika tidak ada buku. Bukan mengada-ada, guru memang berguru [pada] buku.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul majalah | : | MATABACA, Vol. 4/No. 7/Maret 2006 |
Penulis | : | Suretno (Guru SMPN 30 Samarinda) |
Halaman | : | 25 |
- Login to post comments
- 2548 reads