Skip to main content

Tak Kenal Maka Tak Sayang

Amin Sweeney, profesor emeritus pengkajian Melayu dari Universitas California, Berkeley, memulai perjalanan akademisnya di Malaysia setelah menjadi tentara Inggris. Ketekunannya mempelajari dan mengajar bahasa serta sastra Melayu membuahkan sepuluh buku, termasuk karya tentang Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, yang mengungkap banyak fakta yang hilang karena penulisan kolonial. Meskipun serius dalam penelitiannya, Amin tetap memiliki sisi humoris dan kini berencana menjadi warga negara Indonesia.

  • Amin Sweeney
  • pengkajian Melayu
  • bahasa Melayu
  • literatur Melayu
  • Karya Lengkap Abdullah bin Abdulkadir Munsyi
  • kolonialis Belanda
  • khazanah bahasa Indonesia
  • Amin Sweeney adalah profesor emeritus pengkajian Melayu di Universitas California, Berkeley.
  • Kecintaannya terhadap literatur Melayu dimulai saat menjadi tentara Inggris di Malaysia.
  • Amin menetap di Kelantan dan menguasai bahasa Melayu, yang membawanya menjadi pengajar di University of London.
  • Dia mengajarkan bahasa Kelantan dan mendalami sastra Melayu, menghasilkan sepuluh buku terkait bahasa dan sastra Melayu.
  • Salah satu buku pentingnya adalah "Karya Lengkap Abdullah bin Abdulkadir Munsyi," yang mengungkapkan ketidaklengkapan informasi mengenai Abdullah akibat pengaruh kolonialis.
  • Amin menemukan perubahan dalam tulisan Abdullah yang dipengaruhi oleh faktor politik, agama, dan budaya.
  • Dia mendorong orang Indonesia untuk mengenal karya Abdullah dan kritis terhadap pengaruh kolonialis dalam khazanah bahasa Indonesia.
  • Amin humoris dalam pandangannya tentang buku, menggambarkan buku tebal sebagai alat praktis.
  • Sejak 1998, Amin tinggal di Jakarta dan berencana mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Indonesia.

Penulis : Amin Sweeney

Pepatah semacam ini rasanya tepat untuk diberikan kepada Amin Sweeney, profesor emeritus dalam bidang pengkajian Melayu dari Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat. Mungkin jika ia tidak pernah menjadi tentara Inggris di Malaysia, maka dia tidak pernah menjadi peneliti bahasa Melayu.

Kedekatannya dengan literatur Melayu diawali dengan kecintaannya tinggal di tanah Melayu, yaitu Malaysia, yang saat itu masih disebut Malaka. Amin, keturunan Irlandia yang besar di Inggris, harus mengikuti wajib militer serta menjadi tentara Inggris di Malaysia. Selepas wajib militer ia hanya tinggal sebentar di Inggris, kemudian kembali ke Malaysia dan menetap di Kelantan. Sejak saat itu Amin merasa ”tercebur” ke dalam bahasa Melayu.

Kemampuan menguasai bahasa Melayu mengantarnya menjadi pengajar di School of Oriental and African Studies di University of London. ”Padahal saya ke sana untuk kuliah, tetapi dosen saya meminta saya mengajar,” ujar Amin yang juga menguasai bahasa Kelantan. Inilah awalnya Amin mendalami literatur bahasa Melayu hingga menghasilkan berbagai buku tentang bahasa dan sastra Melayu.

Amin yang selama 20 tahun mengajar di Universitas California, Berkeley, sangat menghargai keberadaan buku sebagai saksi dari zamannya. ”Maka setiap naskah layak untuk diteliti,” ujar lelaki kelahiran London 1938 ini.

Ketekunannya mempelajari naskah Melayu telah menghasilkan sepuluh buku tentang bahasa dan sastra Melayu. Salah satunya adalah Karya Lengkap Abdullah bin Abdulkadir Munsyi yang belum lama ini diluncurkan. Karya itu sendiri menjadi suatu pemikiran baru tentang khazanah bahasa Melayu bahwa apa yang selama ini orang ketahui tentang Abdullah tidaklah lengkap. Hal itu disebabkan filolog Belanda yang banyak menulis karya Abdullah tidaklah utuh. Ada beberapa hal yang sengaja disamarkan atau tidak ditulis demi kepentingan kolonialis.

Dari ketekunannya meneliti naskah-naskah Abdullah, Amin menemukan adanya perubahan tulisan Abdullah dari aspek politik, agama, dan budaya. Karya HC Klinkert tentang Pelayaran Abdullah ke Jeddah, misalnya, dipaparkan Abdullah hanya sampai di Jeddah. Sebenarnya, perjalanan Abdullah sampai ke Mekkah. Dalam karyanya, Klinkert menghapus segala hal yang berkaitan dengan agama Islam.

Lalu tulisan Abdullah yang mendukung Inggris diganti dengan istilah ”orang kulit putih” agar terkesan Abdullah juga menyukai orang Belanda. Terkait dengan hal ini, Amin mendorong agar orang Indonesia juga mengenal karya Abdullah secara langsung, dan kritis terhadap khazanah bahasa Indonesia saat ini yang, menurut Amin, merupakan warisan kolonialis Belanda.

Yang menarik, meski Amin adalah seorang yang sangat serius membaca dan meneliti naskah, ternyata dia humoris saat bercerita tentang buku. ”Buku tebal-tebal itu bisa dipakai untuk mengganjal pintu,” ujar Amin yang sejak 1998 menetap di Jakarta dan akan mengajukan permohonan menjadi warga negara Indonesia tersebut. (UMI/Litbang Kompas)

Sumber : www.kompas.co.id