Musuh dalam Diriku: Pembicaraan Terus Terang mengenai Kuasa dan Kekalahan Dosa | GUBUK


Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs GUBUK

Musuh dalam Diriku: Pembicaraan Terus Terang mengenai Kuasa dan Kekalahan Dosa


Kategori: Resensi Buku Cetak, Hidup Kristen

Judul asli : Enemy Within
Penulis : Kris Lundgaard
Penerjemah : Rosana Palatehan
Penerbit : Penerbit Momentum, Surabaya 2004
Ukuran buku : 14 x 21 cm
Tebal : 176 halaman
Sumber : Kiriman mitra (Penerbit Momentum)

Kali pertama mendengar istilah "musuh dalam selimut" bermacam-macam pertanyaan langsung muncul dalam benak saya. Layaknya seorang anak yang bertanya-tanya, apakah orang itu sakit, ketiduran, atau kedinginan? Ya, bagi seorang anak selimut lebih mudah diasosiasikan dengan sakit, tidur, dan kehangatan. Setelah beberapa saat barulah dipahami tentang makna "kedekatan" dan "keterselubungan" yang menjadikan si "musuh" begitu berbahaya dan menyakitkan. Namun buku ini bahkan berbicara tentang satu konsep yang lebih "dekat" dan "berbahaya" lagi, yaitu "Aku adalah musuh terbesar bagi diriku sendiri." Memang dalam hal pencobaan dan dosa, yang paling sulit kita hadapi adalah si pendosa, yaitu diri kita masing-masing yang menjadi tunggangan dosa.

Buku ini adalah contoh yang baik dari pemikiran kekristenan Puritan dalam kaitannya memerhatikan kerohanian di dalam diri. Penulis, Kris Lundgaard, tidak malu-malu mengakui bagaimana ia "menculik" John Owen untuk bisa menuliskan satu pembahasan yang akan sangat mengusik nurani tetapi sekaligus menjanjikan kemenangan dari Tuhan dalam peperangan melawan sifat alami dosa dalam diri kita. Buku ini secara runtun membahas hakikat dosa, bagaimana dosa bisa berkuasa atas diri kita melalui sifat lama kita yang berdosa dan lemah -- yang bisa dicobai oleh kedagingan kita sendiri, oleh Iblis, dan dunia, dan bagaimana tekad-tekad dan janji-janji kita untuk berusaha agar tidak lagi berdosa lebih sering (jika bukan selalu) berujung pada kekalahan yang semakin membuat kita frustrasi. Penulis membantu kita melihat dengan jeli bahwa kekalahan kita adalah karena kita tidak mengerti medan perang yang sesungguhnya, yaitu hati, yang menjadi pusat keberadaan kita. Siapa yang berhasil merebut, menguasai, dan mengisi hati kita, itulah yang menang. Maka satu-satunya jalan mengalahkan diri kita adalah mengisi hati kita dengan Allah dan kebenaran-Nya. Namun penulis tidak berhenti sampai di situ, ia juga mengajak kita supaya kita tidak cepat merasa puas dan akhirnya lengah. Ia memperingatkan tentang banyak hal, seperti kelicikan dosa dan sifat manusia lama kita yang terus berupaya meruntuhkan ketekunan kita di dalam Tuhan, yang memberikan berbagai tanda atau gejala yang perlu diwaspadai sebagai kerohanian palsu (tipuan manusia lama); langkah-langkah untuk memperteguh kerohanian sejati dan memperkuat serangan kita untuk melumpuhkan daya dosa.

Membaca buku ini bagaikan melakukan "X-ray" terhadap kesehatan kerohanian kita yang sesungguhnya. Jika kita berani untuk jujur dalam merespons pernyataan-pernyataan penulis dan pertanyaan-pertanyaan pendalamannya, kita sudah mulai melangkah untuk mengalahkan musuh dalam diri kita. Selamat mempraktikkannya!

Peresensi: Irwan Tjulianto

Komentar